Kebetulan saja pada tanggsl 16 November 2015 saya sempat melihat
sebuah papan pengumuman ini di depan Taman Ismail Marzuki/TIM.
Langsung saya ajak teman saya, Mr. Wilson Lelengke.
Acara ini dibuka pada tanggal 17 November 2015.
Narasumber: (kiri) Dr., M.Si
(Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan)
(kanan) Prof. Dr. Syamsuddin Haris
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia - LIPI)
Moderator: (Tengah) I. Yudhi Soenarto
(Sastra Universitas Indonesia)
(Foto ini diambil oleh Mr. Wilsoh Lalengke)
Sebelum acaranya dimulai, telah digelar Happening Art yang dibawakan
oleh para seniman yang ada kaitannya dengan TIM.
Di sela-sela acara itulah saya sempat berkenalan dengan Prof. Dr. Syamsuddin
Haris, seorang narasumber pada dialog Revolusi Mental.
Saya sempat bertanya kepada beliau tentang bedanya pola berpikir antara
orang Indonesia dan Jepang pada umumnya karena selama 34 tahun
sejak pendirian PPIT pertanyaan saya itu belum diselesaikan.
Saya bertanya,
"Saya sering merasa aneh, kenapa pola pikir orang Indonesia
pada umumnya cenderung berpikir konsepsional atau berpikir abstrak
dibandingkan dengan orang Jepang yang pada umumnya "serba kongkrit",
Apa yang menyebabkannya ya, Pak?"
Beliau menjawab,
"Soal itu ada kaitan erat dengan bahasa, dibandingkan dengan bahasa Jepang
yang begitu 'rumit' atau 'dalam', bahasa Indonesia boleh dibilang 'sederhana',
sehingga dalam ekspresinya lebih banyak diungkpakan secara abstrak, karena
kalau tidak bisa terjadi 'salah pengertian' atau "salah paham'. Selain bahasa,
tentu saja ada juga faktor yang berkaitan erat dengan bedanya tingkat pendidikan,
struktur masyarakat dan lain sebagainya di antara kedua negara. "
Dengan adanya komentar beliau ini, pertanyaan saya selama ini sudah terjawab.
Terima kasih banyak, Prof. Syamsuddin Haris.
Mr. Wilson Lalengke sempat mengemukakan pendapatnya sekaligus
mengajukan pertanyaannya di dalam acara tersebut.
1. Pendapat saya, revolusi mental perlu
dilakukan di atas pondasi filsafat yang
benar dan mendasar. Mentalitas manusia
akan menentukan sikap dan perilakunya
sehari-hari. Pengertian filsafat secara
umum dan sederhananya adalah "mencintai
kebijaksanaan". Oleh karena itu, mental
yang benar adalah suatu sistem berpikir
analitis dalam menentukan sikap dan
melakukan suatu tindakan, sehingga sikap
dan perilaku yang diambil harus
berdasarkan pada format "mencintai kebijaksanaan",
bukan mengikuti emosi, hawa
nafsu, maupun ajaran yang "tidak mencintai
kebijaksanaan". Contoh: mengutip
pendapat narasumber, infrastruktur penting
dibangun untuk mendukung revolusi
mental, seperti misalnya ketertiban transportasi
KA saat ini sudah tertib karena
akses masuk ke stasiun KA sudah dipagar dan dijaga
dengan ketat setiap pintu
masuk, demikian juga jalur kereta api sudah hampir semua
dipagar pinggir
kiri-kanannya. Menurut saya, mentalitas warga belum berubah ke arah
yang baik,
karena sikap tertib di transportasi KA bukan didasarkan kepada filosofi
"cinta
kebijaksanaan" tapi karena dipagar dan takut terhadap petugas. Jika pagar tidak
ada atau petugasnya lalai, warga akan menerobos masuk stasiun dan kesemrawutan
transportasi KA akan terjadi lagi. Jadi, menurut saya pendidikan filsafat bagi
warga
masyarakat dalam proses revolusi mental adalah mutlak jika kita akan
menghasilkan
komunitas masyarakat Indonesia yang benar-benar memiliki mentalitas
yang baik.
Keterlibatan kementrian pendidikan dan lembaga pendidikan, terutama
di tingkat
pendidikan anak dan remaja sangat penting. Mohon tanggapan narasumber
tentang hal
ini.
++ Jawaban narasumber waktu itu
hanya mengiyakan, tapi tidak menjelaskan lebih luas
tentang pendapat mereka
menyetujui pendapat saya itu.
2. Keteladanan dan jika
kepeloporan di hampir semua komunitas dan level kepemimpinan
di Indonesia sangat
kurang. Sulit sekali menemukan sosok atau figur yang dapat
dijadikan
teladan/contoh bagi masyarakat, terutama untuk generasi muda yang sedang
mencari
figur panutan bagi dirinya. Di sana-sini yang kita jumpai hanyalah orang-orang
yang ambisius menjadi pemimpin dengan cara yang tidak patut, karena memiliki
mental
yang lemah dari sisi dasar filsafat, namun mereka tidak menunjukkan
"sosok yang satu
kata dengan perbuatan". Ketiadaan sosok teladan dalam
masyarakat dan bernegara
inilah yang menjadi salah satu penghambat program
revolusi mental saat ini.
Jadi menurut saya, upaya merevolusi mental pejabat dan
pemimpin masyarakat,
baik di masyarakat luas, terutama di kalangan pemerintahan,
aparat polisi, dan birokrat
adalah hal yang mutlak dilakukan secara
terus-menerus dan massif.
++ Jawaban narasumber saat itu
umumnya hanya mengiyakan saja. Maklum juga,
karena pertanyaan dan pernyataan
ditampung dari beberapa penanya/penanggap,
dijawab sekaligus oleh para
narasumber. Jadi, tentunya kurang fokus dalam
memberikan tanggapan atas respon
audiens.
Masih banyak yang ingin diceritakan di sini, tetapi lain kali saja ya.
Bagaimanapun juga, acara "Revolusi Mental" ini sangat bermakna bagi saya.
Terima kasih.