Mengenal
Pemikiran Katsujiro Ueno
(Sabtu, 7 Juli 2012
23:49 WIB)
Laporan
Reporter Tribun Jogja, Yoseph Hary
TRIBUNJOGJA.COM,
YOGYA - Katsujiro Ueno dari Sekjen
Perkumpulan Persahabatan Indonesia Tochigi (PPIT) mengaku sangat mengagumi
sumber daya alam (SDA) Indonesia yang melimpah ruah. Kondisi tersebut
menurutnya akan menjadikan Indonesia sebagai negara nomor satu di dunia,
asalkan, sumber daya manusianya (SDM) pun memadai. Maka, terpenting, SDM harus
dibenahi paling pertama.
Dia
membandingkannya dengan kondisi di Jepang yang, menurutnya, nyaris tidak
memiliki SDA. Tuntutan bagi masyarakat Jepang untuk maju, dalam kondisi itu,
adalah belajar dan bekerja keras. Hanya dengan cara itu, maka seseorang akan
selamat dari empat musim, yaitu semi, panas, gugur, dan dingin, yang dianggap
dapat membuat masyarakat kelaparan jika tidak bekerja. Sebab itu, untuk dapat
berhasil dalam bekerja, belajar merupakan yang utama. Ketika semua masyarakat
melakukan hal itu, maka setiap orang akan merdeka, yang berarti negara pun
telah merdeka.
"Jika
satu orang tidak merdeka, negara belum merdeka," ungkap Katsujiro, ditemui
Tribun di Wisma MM UGM, Sabtu (7/7/2012).
Pria
penerjemah Bahasa Indonesia - Jepang dan sebaliknya ini lantas menggali kembali
materi Seminar di mana dia sebagai keynote speakernya beberapa waktu lalu,
yaitu dengan tema "Pola pikir orang
Jepang dalam proses merealisasikan cita-cita". Menurutnya, bagi masyarakat
Jepang, pendidikan adalah utama. Di dalamnya, orang harus selalu belajar terus
menerus. Setelah pendidikan, orang juga harus bekerja. Ketika ada orang yang
hanya nongkrong setiap hari, maka dianggap tidak berhak makan, atau dinilai
tidak baik.
"Itu
kenapa orang Jepang senang bekerja sampai lanjut usia," katanya. Senang
bekerja berarti pula senang menjadi berguna bagi orang lain, bukan demi
kepentingan diri sendiri. Satu hal penting juga, yaitu wajib pajak. Dia
menegaskan jangan sampai ada mafia pajak.
Konsep
hidup seperti itu menurutnya telah mentradisi di lingkup masyarakat Jepang.
Secara turun menurun, orang tua atau guru sekolah mengajarkannya bahkan sejak
zaman samurai. Pasalnya, masyarakat Jepang dipengaruhi empat musim yang membuat
takkan bisa makan jika tidak kerjakeras.
Pola
pikir mewujudkan cita-cita seperti itu, menurutnya dilakukan secara riil dengan
hal mendasar, seperti membaca, menulis, dan diskusi informal, Membaca untuk
menangkap pembelajaran, menulis untuk mengaktifkan kerja otak, diskusi dan
berpendapat untuk melatih menyatakan ekspresinya. Selain secara lisan,
menuangkan dalam tulisan juga penting agar mudah mengingat.
Dia
pun menekankan kepada setiap orang untuk menulis buku harian per 10 tahun. Dari
diary itu dapat diperoleh pembelajaran, apa yang gagal, berhasil, selain juga
diingatkan kembali apa cita-cita yang belum tercapai, untuk kemudian sebagai
pembelajaran.
"Harus
ada pula kesan hari itu, dan rencana hari esok. Dengan pola ini, di Jepang
tidak ada yang bercita-cita jadi pekerja kasar," lanjutnya. Untuk
merealisasikannya, orang harus selalu menyusun rincian tentang, kapan rencana
itu dilakukan, di mana, apa saja, dengan siapa, mengapa demikian, bahkan
bagaimana caranya, berapa banyak kebutuhan dan ongkos untuk persiapannya (5W
dan 3H).
Konsep
Pendidikan
Mengawali
pola pikir itu, menurutnya selalu kembali pada konsep belajar. Konsep belajar
atau pendidikan yang bagaimana dan apa bedanya dari pendidikan di Indonesia,
Yogyakarta khususnya, Katsujiro menegaskan, pendidikan dengan pembagian
kurikulum atau cara apapun, kuncinya tetap ada pada gurunya. Menurutnya, guru
harus memiliki rasa kemanusiaan. "(Guru) jadilah orang tua bagi siswa di
sekolah. Kenyataan saya temui di sini
cenderung menjadi guru yang hanya menyuruh dan memberi tugas,"
katanya.
Intinya,
guru harus mau memuji, mendorong, memotivasi, dan menganjurkan. Guru ideal menurutnya
ini telah diterapkan di Jepang. Bahkan tidak ada lagi siswa yang pulang dengan
laporan kepada orang tua bahwa dirinya baru saja dimarahi guru. Guru juga harus
menyelesaikan pekerjaannya di kantor, bukan dibawa pulang. "Tidak boleh
mengecek jawaban tes di rumah, nanti bisa bocor," katanya.
Dia
menegaskan, antara cita-cita dan pendidikan berkaitan erat. Kesimpulannya,
orang harus melaluinya dengan banyak belajar, salah satu yang terpenting adalah
tetap menulis buku harian. "Bekerja dan belajar tanpa buku harian, maka
akan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Menulis itu mendekatkan pada
pencapaian tujuan yang terpikirkan," kata
katsujiro.(*)
0 件のコメント:
コメントを投稿