2012年8月5日日曜日

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA -(Sabtu, 7 Juli 2012 23:49 WIB)


Mengenal Pemikiran Katsujiro Ueno

(Sabtu, 7 Juli 2012 23:49 WIB)



Laporan Reporter Tribun Jogja, Yoseph Hary



TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA -  Katsujiro Ueno dari Sekjen Perkumpulan Persahabatan Indonesia Tochigi (PPIT) mengaku sangat mengagumi sumber daya alam (SDA) Indonesia yang melimpah ruah. Kondisi tersebut menurutnya akan menjadikan Indonesia sebagai negara nomor satu di dunia, asalkan, sumber daya manusianya (SDM) pun memadai. Maka, terpenting, SDM harus dibenahi paling pertama.



Dia membandingkannya dengan kondisi di Jepang yang, menurutnya, nyaris tidak memiliki SDA. Tuntutan bagi masyarakat Jepang untuk maju, dalam kondisi itu, adalah belajar dan bekerja keras. Hanya dengan cara itu, maka seseorang akan selamat dari empat musim, yaitu semi, panas, gugur, dan dingin, yang dianggap dapat membuat masyarakat kelaparan jika tidak bekerja. Sebab itu, untuk dapat berhasil dalam bekerja, belajar merupakan yang utama. Ketika semua masyarakat melakukan hal itu, maka setiap orang akan merdeka, yang berarti negara pun telah merdeka.



"Jika satu orang tidak merdeka, negara belum merdeka," ungkap Katsujiro, ditemui Tribun di Wisma MM UGM, Sabtu (7/7/2012).



Pria penerjemah Bahasa Indonesia - Jepang dan sebaliknya ini lantas menggali kembali materi Seminar di mana dia sebagai keynote speakernya beberapa waktu lalu, yaitu dengan tema  "Pola pikir orang Jepang dalam proses merealisasikan cita-cita". Menurutnya, bagi masyarakat Jepang, pendidikan adalah utama. Di dalamnya, orang harus selalu belajar terus menerus. Setelah pendidikan, orang juga harus bekerja. Ketika ada orang yang hanya nongkrong setiap hari, maka dianggap tidak berhak makan, atau dinilai tidak baik.



"Itu kenapa orang Jepang senang bekerja sampai lanjut usia," katanya. Senang bekerja berarti pula senang menjadi berguna bagi orang lain, bukan demi kepentingan diri sendiri. Satu hal penting juga, yaitu wajib pajak. Dia menegaskan jangan sampai ada mafia pajak.

Konsep hidup seperti itu menurutnya telah mentradisi di lingkup masyarakat Jepang. Secara turun menurun, orang tua atau guru sekolah mengajarkannya bahkan sejak zaman samurai. Pasalnya, masyarakat Jepang dipengaruhi empat musim yang membuat takkan bisa makan jika tidak kerjakeras.



Pola pikir mewujudkan cita-cita seperti itu, menurutnya dilakukan secara riil dengan hal mendasar, seperti membaca, menulis, dan diskusi informal, Membaca untuk menangkap pembelajaran, menulis untuk mengaktifkan kerja otak, diskusi dan berpendapat untuk melatih menyatakan ekspresinya. Selain secara lisan, menuangkan dalam tulisan juga penting agar mudah mengingat.



Dia pun menekankan kepada setiap orang untuk menulis buku harian per 10 tahun. Dari diary itu dapat diperoleh pembelajaran, apa yang gagal, berhasil, selain juga diingatkan kembali apa cita-cita yang belum tercapai, untuk kemudian sebagai pembelajaran.



"Harus ada pula kesan hari itu, dan rencana hari esok. Dengan pola ini, di Jepang tidak ada yang bercita-cita jadi pekerja kasar," lanjutnya. Untuk merealisasikannya, orang harus selalu menyusun rincian tentang, kapan rencana itu dilakukan, di mana, apa saja, dengan siapa, mengapa demikian, bahkan bagaimana caranya, berapa banyak kebutuhan dan ongkos untuk persiapannya (5W dan 3H).



Konsep Pendidikan

Mengawali pola pikir itu, menurutnya selalu kembali pada konsep belajar. Konsep belajar atau pendidikan yang bagaimana dan apa bedanya dari pendidikan di Indonesia, Yogyakarta khususnya, Katsujiro menegaskan, pendidikan dengan pembagian kurikulum atau cara apapun, kuncinya tetap ada pada gurunya. Menurutnya, guru harus memiliki rasa kemanusiaan. "(Guru) jadilah orang tua bagi siswa di sekolah. Kenyataan saya temui di sini  cenderung menjadi guru yang hanya menyuruh dan memberi tugas," katanya.



Intinya, guru harus mau memuji, mendorong, memotivasi, dan menganjurkan. Guru ideal menurutnya ini telah diterapkan di Jepang. Bahkan tidak ada lagi siswa yang pulang dengan laporan kepada orang tua bahwa dirinya baru saja dimarahi guru. Guru juga harus menyelesaikan pekerjaannya di kantor, bukan dibawa pulang. "Tidak boleh mengecek jawaban tes di rumah, nanti bisa bocor," katanya.



Dia menegaskan, antara cita-cita dan pendidikan berkaitan erat. Kesimpulannya, orang harus melaluinya dengan banyak belajar, salah satu yang terpenting adalah tetap menulis buku harian. "Bekerja dan belajar tanpa buku harian, maka akan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Menulis itu mendekatkan pada pencapaian tujuan yang terpikirkan," kata  katsujiro.(*)

0 件のコメント:

コメントを投稿