2015年12月12日土曜日

Dialog Revolusi Mental di Jakarta

Kebetulan saja pada tanggsl 16 November 2015 saya sempat melihat
sebuah papan pengumuman ini di depan Taman Ismail Marzuki/TIM.
Langsung saya ajak teman saya, Mr. Wilson Lelengke.
 
Acara ini dibuka pada tanggal 17 November 2015.
 
 
 
Narasumber: (kiri) Dr., M.Si
                             (Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
                              Kebudayaan)
                      (kanan) Prof. Dr. Syamsuddin Haris
                               (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia - LIPI)
Moderator:    (Tengah) I. Yudhi Soenarto
                               (Sastra Universitas Indonesia)
 
 
                  
 
(Foto ini diambil oleh Mr. Wilsoh Lalengke)
 
Sebelum acaranya dimulai, telah digelar Happening Art yang dibawakan
oleh para seniman yang ada kaitannya dengan TIM.
 
Di sela-sela acara itulah saya sempat berkenalan dengan Prof. Dr. Syamsuddin
Haris, seorang narasumber pada dialog Revolusi Mental.
 
Saya sempat bertanya kepada beliau tentang bedanya pola berpikir antara
orang Indonesia dan Jepang pada umumnya karena selama 34 tahun
sejak pendirian PPIT pertanyaan saya itu belum diselesaikan.
 
Saya bertanya,
"Saya sering merasa aneh, kenapa pola pikir orang Indonesia
pada umumnya cenderung berpikir konsepsional atau berpikir abstrak
dibandingkan dengan orang Jepang yang pada umumnya "serba kongkrit",
Apa yang menyebabkannya ya, Pak?"
 
Beliau menjawab,
"Soal itu ada kaitan erat dengan bahasa, dibandingkan dengan bahasa Jepang
yang begitu 'rumit' atau 'dalam', bahasa Indonesia boleh dibilang 'sederhana',
sehingga dalam ekspresinya lebih banyak diungkpakan secara abstrak, karena
kalau tidak bisa terjadi 'salah pengertian' atau "salah paham'. Selain bahasa,
tentu saja ada juga faktor yang berkaitan erat dengan bedanya tingkat pendidikan, 
struktur masyarakat dan lain sebagainya di antara kedua negara. "
 
Dengan adanya komentar beliau ini, pertanyaan saya selama ini sudah terjawab.
Terima kasih banyak, Prof. Syamsuddin Haris.
 
Mr. Wilson Lalengke sempat mengemukakan pendapatnya sekaligus
mengajukan pertanyaannya di dalam acara tersebut.
 
1. Pendapat saya, revolusi mental perlu dilakukan di atas pondasi filsafat yang
    benar dan mendasar. Mentalitas manusia akan menentukan sikap dan perilakunya  
    sehari-hari. Pengertian filsafat secara umum dan sederhananya adalah "mencintai 
    kebijaksanaan". Oleh karena itu, mental yang benar adalah suatu sistem berpikir
    analitis dalam menentukan sikap dan melakukan suatu tindakan, sehingga sikap
    dan perilaku yang diambil harus berdasarkan pada format "mencintai kebijaksanaan", 
    bukan mengikuti emosi, hawa nafsu, maupun ajaran yang "tidak mencintai
    kebijaksanaan". Contoh: mengutip pendapat narasumber, infrastruktur penting
    dibangun untuk mendukung revolusi mental, seperti misalnya ketertiban transportasi
    KA saat ini sudah tertib karena akses masuk ke stasiun KA sudah dipagar dan dijaga
   dengan ketat setiap pintu masuk, demikian juga jalur kereta api sudah hampir semua
   dipagar pinggir kiri-kanannya. Menurut saya, mentalitas warga belum berubah ke arah
   yang baik, karena sikap tertib di transportasi KA bukan didasarkan kepada filosofi 
   "cinta kebijaksanaan" tapi karena dipagar dan takut terhadap petugas. Jika pagar tidak
   ada atau petugasnya lalai, warga akan menerobos masuk stasiun dan kesemrawutan
   transportasi KA akan terjadi lagi. Jadi, menurut saya pendidikan filsafat bagi warga
   masyarakat dalam proses revolusi mental adalah mutlak jika kita akan menghasilkan
   komunitas masyarakat Indonesia yang benar-benar memiliki mentalitas yang baik.
   Keterlibatan kementrian pendidikan dan lembaga pendidikan, terutama di tingkat
   pendidikan anak dan remaja sangat penting. Mohon tanggapan narasumber tentang hal
   ini.
++ Jawaban narasumber waktu itu hanya mengiyakan, tapi tidak menjelaskan lebih luas
      tentang pendapat mereka menyetujui pendapat saya itu.
 
2. Keteladanan dan jika kepeloporan di hampir semua komunitas dan level kepemimpinan
    di Indonesia sangat kurang. Sulit sekali menemukan sosok atau figur yang dapat
    dijadikan teladan/contoh bagi masyarakat, terutama untuk generasi muda yang sedang
    mencari figur panutan bagi dirinya. Di sana-sini yang kita jumpai hanyalah orang-orang
    yang ambisius menjadi pemimpin dengan cara yang tidak patut, karena memiliki mental
    yang lemah dari sisi dasar filsafat, namun mereka tidak menunjukkan "sosok yang satu
    kata dengan perbuatan". Ketiadaan sosok teladan dalam masyarakat dan bernegara
    inilah yang menjadi salah satu penghambat program revolusi mental saat ini.
   Jadi menurut saya, upaya merevolusi mental pejabat dan pemimpin masyarakat,
   baik di masyarakat luas, terutama di kalangan pemerintahan, aparat polisi, dan birokrat
   adalah hal yang mutlak dilakukan secara terus-menerus dan massif.
 
++ Jawaban narasumber saat itu umumnya hanya mengiyakan saja. Maklum juga,
      karena pertanyaan dan pernyataan ditampung dari beberapa penanya/penanggap,
      dijawab sekaligus oleh para narasumber. Jadi, tentunya kurang fokus dalam
      memberikan tanggapan atas respon audiens.

 
 
Masih banyak yang ingin diceritakan di sini, tetapi lain kali saja ya.
Bagaimanapun juga, acara "Revolusi Mental" ini sangat bermakna bagi saya.
Terima kasih.
 
 




2015年11月29日日曜日

Tulisan bahasa Jawa

 
 
Nama saya ditulis dalam huruf bahasa Jawa oleh
Bapak Dwi Cahyono, SE
Chairman of East Java Tourism and Promotion Board
 
 


2015年11月28日土曜日

4 hari 3 malam di kota Malang

Foto bersama dengan siswa-siswi SMAN 5 Malang
 
 
Berbincang-bincang di kelas SMAN 5 Malang
 
 
Ibu kelapa sekolah SMAN 5(paling kiri) bersama guru bahasa Jerman
(pandai sekali berbahasa Indonesia), guru bahasa Jepang(paling kanan)
 
 
Di Akademi Pariwisata VEDC Malang
 
 
Rajin mendengarkan dan mencatat
(Akademi Pariwisata VEDC Malang)
 
 
Hadiri lomba pidato bahasa Jepang sebagai seorang pengamat
(SMAN 4 Malang)
 
 
Bersama para guru bahasa Jepang di SMAN 4 Malang
(Ada 3 orang Jepang sebagai juri lomba pidatonya)
 
 
Bapak Dwi Cahyono SE, Malang.
Pemilik rumah makan Inggil, Museum Malang Tempo Doeloe
Beliau sangat berbakat menulis bahasa Jawa.
 
 
Bapak Tommy Setiawan(Kanan)
 
 
Bapak HM Ichsanudin di Museum Malang Tempoe Doeloe
Beliau eks trainee dari Jawa Tengah dan sekarang sudah berhasil sekali
dalam usahanya di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah.
 
Berikutnya adalah foto-foto kenangan reuni
Kyowa Sobi, Matsumoto di Ota, Gunma
di Hotel Swiss-Belinn, Malang, Jatim
 
 

 

 
 
Tertulis, Kami tunggu kedatangan Bapak & Nyonya Yoshino
 
Teman-teman, Terima kasih banyak atas segala bantuan yang
diberikan selama saya di Malang, Jawa Timur.
Sampai jumpa !
 

 
 
 
 

2015年11月26日木曜日

Berita Radar Malang, Rabu, 25 Nov. 2015

 
 
 
 
 
 
Berita ini dikirimkan oleh Bapak Tommy di Malang malam ini.
Terima kasih banyak, Pak Tommy
 
Titip salam dari saya buat teman-teman kita di seluruh Indonesia.
 
Sekjen Perkumpulan Persahabatan Indonesia Tochigi (PPIT)
Katsujiro Ueno
 


2015年11月23日月曜日

Seminar motivasi di Universitas Kanjuruhan Malang

 
 


Seminar motivasi saya bertemakan "Apa yang Anda lakukan dalam 10 tahun ke depan?"
telah diadakan di Universitas Kanjuruhan Malang pada tanggal 20 November 2015.
Jumlah peserta telah mencapai lebih dari 200 orang, di antaranya 60 % mahasiswi dan
sisanya 40% mahasiswa dari universitas tersebut.
 

 
 





Berikut adalah kesan-kesan dan pesan-pesan yang telah disampaikan oleh
sebanyak 38 orang di antara sebanyak 158 orang yang sempat menulisnya.





 


 
 
 
 





 




 








 
Saya sangat terkesan setelah membaca apa yang mereka tuliskan.
Saya sebagai seorang motivator dari Jepang berniat ingin teruskan kegiatan ini
di seluruh Indonesia. Saya senantiasa bersedia melakukan seminar
motivasi seperti kali ini kapan pun dan di daerah manapun di Indonesia.
 
Terakhir, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Tommy
atas segala bantuan yang diberikan selama saya di kota Malang.
 
Sampai jumpa, teman-teman!
 
 
 
 



2015年11月17日火曜日

Diri kita hanya satu di dunia ini

 
Sebuah prasasti yang ditulis oleh seorang penulis Jepang bernama Yamamoto Yuzo
terdapat di depan stasiun Tochigi, Prefektur Tochigi. Isi kalimatnya diambil dari karya
novelnya berjudul "Batu kelikir di pinggir jalan" atau bahasa Jepangnya "Robo no ishi".
 
Maknanya adalah sebagai berikut;
 
Diri kita hanya satu di dunia ini.
Hidup kita hanya satu kali.
Jika kita tidak benar-benar memanfaatkannya,
tidak ada artinya kita dilahirkan sebagai seorang manusia, bukan?
 
Mari kita pikir kembali bagaimana pemanfaatan hidup diri kita sendiri!
Yang penting, menurut saya, bagaimana caranya bagi kita untuk menjadi
seorang yang berguna bagi orang lain atau masyarakat dalam arti luas.
 
Bagaimana dengan pendapat Anda?
 
 

2015年11月16日月曜日

Hari pertama di Jakarta

          
          Masakan Padang                                      Kelapa muda

Dalam setiap kunjungan saya ke Jakarta saya membiasakan diri untuk
mampir dan makan masakan Padang di rumah makan "Sari Bundo" di
Jl. Juanda, Jakarta Pusat.

Masakan yang saya sukai adalah ayam panggang dan daun singkong,
dan sebagai hidangan cuci mulut saya suka minum air kelapa muda.

              
    Patung putri duyung                                 Kartu anggota PPWI


Setelah makan siang, saya cari waktu untuk ke Taman Impian Jaya Ancol di
Jakarta Utara. Satu hal yang sangat mengesankan saya pada waktu mau masuk
pintu masuk, saya ingat nasihat dari Bapak Wilson Lalengke, Ketua PPWI, bahwa
 
Ueno san kalau mau ke Ancol, perlihatkan saja kartu anggota kita.

Saya langsung perlihatkan kartu anggota PPWI, petugas penjaga pintu masuk
itu berkata "Silahkan langsung saja masuk ke dalam". Waduh, saya bisa masuk
taman Ancol dengan gratis. Walaupun waktunya sangat terbatas, tapi saya sempat
ambil foto di depan patung Putri Duyung.  Mungkin saya adalah seorang anggota
PPWI asing yang pertama masuk ke taman Ancol tanpa dikenakan biaya.
Saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Ketua PPWI. Terima kasih!!

Bedanya Buku Harian dan Buku Agenda Kerja

          
 
 
 
(Satu halaman bisa dipakai utk selama 10 tahun, dari seorang pengguna buku ini)


Maksud saya "Bedanya Buku Harian" dan "Buku Agenda Kerja" dalam
hal ini adalah khusus untuk "Perbedaan antara Buku Harian 10 Tahun"
dan "Weekly Planning Notebook" yang kedua gambarnya terlihat di atas.

"Buku Harian 10 Tahun" tersebut terdiri dari tiga(3) baris yang menyatakan
tiga hal yang berkaitan dengan perasaan yang ekspresif, antara lain
(1) Perasaan yang kita alami tentang kesalahan atau kekeliruhan pada
hari itu, (2) Perasaan tentang hal-hal yang membuat kita menyenangkan
pada hari itu, dan (3) Rencana untuk besok dan kedepan untuk mencapai
target secara spesifik guna mencapai tujuan dalam hidup kita.

Namanya "Target" itu adalah suatu proses untuk mencapai "Tujuan Hidup"
kita. Oleh karena itu, "Target" itu harus dinyatakan secara kongkrit, dan harus
juga "jamak", sedangkan "Tujuan" dalam pengertian tersebut boleh digambarkan
secara abstrak.

Contohnya, bagi seseorang yang ingin menguasai bahasa Jepang misalnya
"Penguasaan bahasa Jepang" itulah menjadi "Tujuan Hidupnya", sedangkan
"Target yang rincinya" adalah tentang bagaimana cara menguasai 4 faktornya
yang terdiri dari "Menulis", "Membaca", "Mendengar" dan "Bicara".

Sementara itu, "Weekly Planning Notebook" adalah khusus untuk "Target
yang harus dilakukan untuk satu minggu ke depan", maka secara otomatis
apa yang disebut "target" itu harus dinyatakan secara spesifik atau kongkrit.

Banyak orang berpikir bahwa satu tahun adalah 365 hari. Akan tetapi,
"Weekly Planning Notebook" tersebut dilandasi pikiran sesuai dengan
"Satu tahun adalah 52 minggu". Apa-apa yang akan dilakukan dalam minggu depan sebaiknya dinyatakan secara rinci. Walaupun target yang telah direncanakan untuk
besok ternyara mengalami kegagalan akibat adanya urusan mendadak yang masuk",
bisa saja dapat diselesaikan dalam kurun waktu satu minggu yang bersangkutan itu.

Mudah-mudahan kita jangan sampai anggap salah bahwa "Buku Harian" dan "Buku
Agenda Kerja" itu sama maknanya, karena keduanya jauh berbeda secara prinsipnya.

Terima kasih.