2013年12月14日土曜日
Email dari Bapak Udo Yamin Majdi
[Orang Jepang itu, Guru Luar Biasa!]
By: Udo Yamin Majdi
Guru luar biasa itu bernama Katsujiro Ueno. Dalam status saya hari Rabu (11/12/2013) saya menulis bahwa "saya berharap, suatu saat nanti --baik di Indonesia maupun di Jepang, saya akan bertemu kembali dengannya". Ternyata, saya tidak tahu apakah ini yang disebut firasat, intuisi, LOA (law of attraction) atau bukan, yang jelas saya merasa Allah sedang menjawab harapan saya.
Meskipun hujan, saya tetap berangkat ke Masjid Al-Hidayah Perum Pesona Intan. Saya tidak ingin para peserta pengajian kitab Riyadush Shalihin kecewa, sebab saya tidak hadir. Seperti biasanya, setiap pertemuan saya mengajar beberapa hadis. Dalam menjelaskannya, saya coba kaitan dengan kehidupan nyata, sehingga bisa langsung dipraktekan.
Malam ini saya membahas dua sabda nabi: pertama, tentang sholat, Jum'at, dan Ramadhan sebagai sarana "mendelete" dosa (kafarat), sedangkan kedua, tentang tiga amalan yang bisa menghapus dosa dan meningkatkan derajat seseorang di sisi Allah, yaitu berwudhu dalam sikon tidak suka, memperbanyak langkah ke masjid, dan menanti shalat demi shalat.
Karena pembahasan berkaitan dengan manajemen waktu dan aktivitas berhubungan dengan fisik, tiba-tiba saya teringat dengan pemaparan Bapak Ueno dalam Seminar Pendidikan Internasional dengan tema "Pentingnya Membaca & Menulis Buku Harian" yang diselenggarakan oleh GLECT dan UNIGA. Di depan para jama'ah, saya menerangkan rahasia Dr. Shigeaki Hinohara panjang umur. Secara otomatis, saya juga menceritakan guru hebat asal Jepang itu.
Setelah selesai mengimami shalat Isya, saya ngobrol dengan para jama'ah. Tiba-tiba HP saya berbunyi. Ada SMS masuk. Saya lihat dari panitia acara seminar. Dia memberitahu saya bahwa besok bapak Ueno mau pulang. Tadinya, saya sangka, setelah mengisi seminar, Bapak Ueno langsung ke Jakarta.
Tentu saja kabar baik ini tidak saya sia-siakan. Saya ajak teman saya, Lukman, ke kantor GLECT. Di bawah gerimis, motor yang dikemudikan Lukman, melintasi Jalan Samarang menuju Hampor. Kami belok kanan, masuk Jalan Patriot. Di belakang Apotik Patriot, kami berdua berhenti, di sana kami lihat Bapak Ueno bersama pegiat Gleck, sedang makan malam.
Saya berdiskusi dengan guru saya yang ramah, murah senyum, dan bersahabat. Mengapa saya memanggil beliau guru? Sebab, saya merasa tercerahkan dari seminar dan pertemuan kami malam ini. Ada banyak hal yang selama ini saya pertanyakan yang terjawab sudah. Terutama masalah, umur 40 tahun sebagai titik balik (turning point) dan alasan angka 10 tahun dalam merencanakan hidup.
"Hidup kita ini ibarat meraton," kata Bapak kelahiran Jepang tahun 1939 itu, "kalau hidup kita rata-rata umur 80 tahun, maka periode 0 tahun, 10 tahun, 20 tahun, dan 30 tahun adalah masa untuk berusaha atau kerja keras. Nah, pada umur 40 tahun, kita akan mengalami titik balik. Sedangkan umur 50 tahun, 60 tahun, 70 tahun, dan 80 tahun, masa bagi kita menikmati hasil perjuangan kita, atau sebaliknya merasakan akibat dari kelalaian kita pada umur sebelumnya."
Saya diam. Seperti ada saklar dalam hati saya, sehingga otak saya menyala terang benderang. Dalam beberapa minggu ini, saya memang sedang mengkaji Quran surat Al-Ahqaf ayat 15, di sana Allah memberikan clue umur 40 tahun sebagai momentum yang sangat penting.
"Terus Pak Ueno," tanya saya kembali, "mengapa bapak menetapkan 10 tahun sebagai periode kita meraih impian, mengapa tidak 5 tahun, 15 tahun, atau 25 tahun?"
Bapak yang fasih berbahasa Indonesia itu kembali bangkit, beliau menggoreskan spidol merah di white board yang di dekat kami duduk. Beliau menggambar pohon bambu, lalu menjelaskan, "Di Jepang, ada pohon bambu. Setiap bambu pasti memiliki "buku" atau ruas. Begitu juga dalam hidup ini, kita punya ruas saat hidup kita terjadi titik balik atau perubahan besar. Dan perubahan significant itu berjarak 10 tahun."
Banyak hal kami bahas, mulai dari pendidikan, ekonomi, sejarah, dan kondisi di Jepang. Apalagi ketika saya menanyakan hal ini: "Pak Ueno, sebagaimana kita ketahui, tahun 45, Indonesia merdeka dari penjajah, sedangkan tahun yang sama Jepang diluluh-lantak bom atom di Hiroshima, menurut Bapak, apa rahasianya sehingga Jepang dalam bidang teknologi lebih dahulu melesat dibandingkan Indonesia?" Guru saya itu menjawab panjang lebar, intinya pada dua hal: karena Jepang sangat menghargai guru dan iklim yang berbeda dengan Indonesia sehingga mereka memiliki mindset pekerja keras.
Selain itu, Bapak yang telah 55 tahun mengabdi dan mendedikasikan diri sebagai jembatan antara Indonesia dan Jepang itu, menceritakan pengalaman beliau pada zaman PETA, pengalaman saat menyuting penguburan para jenderal korban G30/S PKI, pertemuannya dengan presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Megawati dan Gusdur. Bahkan, beliau juga menceritakan ketika menghadiri acara peresmian Tugu Perdamaian di Papua.
Tidak terasa, jarum jam di dinding menunjukan pukul 23.00 WIB. Berarti kami mengobrol lebih dari tiga jam. Saya pamit, sebab saya ingin beliau istirahat untuk mempersiapkan perjalanan Garut-Jakarta besok.
Dalam perjalanan pulang, saya berdo'a kepada Allah, agar saya bisa menginjakan kaki saya ke Negeri Samurai itu untuk bertemu kembali kepada Sang Guru Hebat itu. Terima kasih guruku, engkau telah berbagi. Tak ada yang dapat saya balas, melainkan hanya ucapan terima kasih. Saya sepakat dengan komentar salah seorang peserta seminar, bahwa seharus anak-anak Indonesia banyak mendengarkan uraian Bapak, agar mereka ikut tercerahkan.
Doumo arigatou gozaimasu.
===
Garut, 13 Desember 2013
登録:
コメントの投稿 (Atom)
Tulisan yang bagus...Bapak Ueno adalah guru yang telah memberikan banyak ilmu, pengalaman, dan support bagi kita...terima kasih Pak...
返信削除